Sastra Jepang
Sabtu, 03 Mei 2014
0
komentar
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke
hadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatandan kesempatan kepada saya,
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah Bahasa Indonesia dengan judul
“SASTRA JEPANG” ini dengan baik. Terimakasih juga kepada guru pembimbing mata
pelajaran Bahasa Indonesia, Ibu Tuti Wijayanti M.Pd yang
telah memberikan bimbingan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik dan lancar.
Tujuan suatu pendidikan tak lain
adalah untuk mencerdaskan bangsa, membentuk sumber daya manusia yang handal dan
berdaya saing, membentuk watak dan jiwa sosial, berbudaya, berakhlak dan
berbudi luhur, serta berwawasan pengetahuan yang luas dan menguasai tekhnologi.
Makalah ini saya buat bertujuan untuk membantu pembelajaran dalam memahami
materi tentang Sastra Jepang. Mudah-mudahan makalah ini memberikan manfaat
dalam segala bentuk kegiatan belajar, sehingga dapat memperlancar dan
mempermudah proses pencapaian tujuan-tujuan yang telah direncanakan.
Saya menyadari masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu segala kritikan dan saran yang
membangun akan kami terima dengan lapang dada sebagai wujud koreksi atas diri
saya yang masih belajar. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua, amin.
Makassar, 11 Januari 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ………………………………..……………………… i
DAFTAR ISI
……………………………………………..………………….. ii
BAB I
A.
LATAR BELAKANG
……………………………..…………..……………… 1
B.
KLASIFIKASI
………………………………………………..….……….…… 1
C.
SEJARAH ..…………………………………………………...………………... 2
BAB II
A.
PERIODISASI
SASTRA JEPANG …………………………………………… 6
B.
BENTUK
SASTRA JEPANG…………………………………….……….…… 7
C.
KEHIDUPAN
SASTRA DI JEPANG ………………………………………… 8
D.
SASTRAWAN
JEPANG ………………………………………..…………….. 11
E.
KARYA
SASTRA …………………………………...…………..…………….. 14
BAB III
A.
KESIMPULAN
……………………………………………………………….... 22
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….……………. iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sastra Jepang (日本文学 Nihon Bungaku) adalah karya sastra dalam bahasa Jepang, atau studi mengenai karya sastra
tersebut dan pengarangnya.
Secara garis besar, sastra Jepang dibagi
menjadi 5 periode : sastra kuno (zaman Nara),
sastra klasik (zaman Heian), sastra pertengahan (zaman
Kamakura, zaman Namboku-cho, zaman Muromachi), sastra modern (zaman Azuchi-Momoyama, zaman Edo),
dan sastra kontemporer (karya sastra mulai zaman Meiji hingga sekarang). Meskipun demikian, sastra kuno dan sastra klasik
sering dijadikan satu menjadi sastra klasik. Sastra zaman Azuchi-Momoyama juga
sering digolongkan ke dalam sastra abad pertengahan. Sementara itu, sastra
modern sering hanya berarti karya sastra zaman Meiji hingga zaman Taisho, dan sastra kontemporer hanya
mencakup karya sastra zaman Showa hingga sekarang.
B. Klasifikasi
Bahasa Jepang (日本語; romaji: Nihongo) merupakan bahasa resmi di Jepang dan jumlah penutur 127 juta jiwa.
Bahasa Jepang juga digunakan oleh sejumlah penduduk negara yang pernah ditaklukkannya
seperti Korea dan Republik Cina.
Ia juga dapat didengarkan di Amerika
Serikat (California dan Hawaii) dan Brasil akibat emigrasi orang Jepang ke sana.
Namun keturunan mereka yang disebut nisei (二世, generasi kedua), tidak lagi fasih dalam bahasa tersebut.
Bahasa Jepang terbagi kepada dua bentuk yaitu Hyoujungo (標準語), pertuturan standar, dan Kyoutsugo (共通語), pertuturan umum.Hyoujungo adalah bentuk yang diajarkan di
sekolah dan digunakan di televisi dan segala perhubungan resmi.
Tulisan bahasa Jepang berasal dari tulisan bahasa China (漢字/kanji) yang
diperkenalkan pada abad keempat Masehi. Sebelum ini, orang Jepang tidak
mempunyai sistem penulisan sendiri.
Tulisan
Jepang terbagi kepada tiga:
keduanya
berunsur daripada tulisan kanji dan dikembangkan pada abad kedelapan Masehi
oleh rohaniawan Buddha untuk
membantu melafazkan karakter-karakter China. Kedua aksara terakhir ini biasa
disebut kana dan
keduanya terpengaruhi fonetik Bahasa Sanskerta.
Hal ini masih bisa dilihat dalam urutan aksara Kana. Selain itu, ada pula
sistem alihaksara yang
disebut romaji.
Bahasa Jepang yang kita kenal sekarang ini, ditulis dengan
menggunakan kombinasi aksara Kanji, Hiragana, dan Katakana. Kanji dipakai untuk
menyatakan arti dasar dari kata (baik berupa kata benda, kata kerja, kata
sifat, atau kata sandang). Hiragana ditulis sesudah kanji untuk mengubah arti
dasar dari kata tersebut, dan menyesuaikannya dengan peraturan tata bahasa
Jepang.
C. Sejarah
Era Nara dan Heian,
masa di mana kebudayaan Jepang memasuki zaman keemasannya. Orang Jepang pada
zaman dulu percaya bahwa sehabis seorang kaisar mangkat, ibukota harus
dipindahkan karena tempat beliau meninggal dunia dianggap tidak baik. Pada
tahun 710, sebuah ibukota resmi Jepang didirikan di Nara atau disebut Heijo-Kyo,
kota yang meniru gaya ibukota Cina, yang terletak di daerah Kinai, dekat Kyoto
dan Osaka. Kuil-kuil Budha banyak dibangun di ibukota tersebut, seperti Kofukuji dan Todaiji yang terkenal sampai sekarang. Sistem
pemerintahan pun lebih teratur, mengambil sistem desentralisasi dan pemungutan
pajak. Tanah dibagi dalam shoen dan dikuasai oleh penduduk yang harus
membayar kepada pemerintah. Di masa ini juga diselesaikan penulisan 2 buku yang
memuat sejarah kuno Jepang, Nihongi danKojiki. Di bidang olahraga lahir permainan sumo.Gulat ala Jepang
ini cukup populer baik di kalangan keluarga kaisar ataupun rakyat biasa. Di
masa pemerintahan Kaisar Shomu, sumo dipertandingkan secara teratur. Era
Nara lebih didominasi oleh Kaisar Wanita, seperti Empress Genmei dan Empress
Koken. Empress Koken adalah kaisar wanita terakhir yang memerintah Jepang
karena di masa pemerintahannya, ia sangat mendukung agama Budha bernama Dokyo,
yang hampir merebut tahta Kaisar. Setelah Empress Koken wafat , dibuat
undang-undang yang mengatur hanya kaum laki-laki yang yang boleh menjadi Kaisar
Jepang.
Klan yang paling berkuasa [bahkan sebelum era Nara
dimulai] adalah klan Fujiwara. Klan tersebut amat
berpengaruh dalam mengatur pemerintahan, sampai berseteru dengan para pendeta Budha
demi memperebutkan kuasa atas kekaisaran yang sedang berjalan. Untuk
menghindari hal yang lebih buruk, akhirnya kaisar pada waktu itu, Kaisar Kanmu,
memindahkan ibukota ke Kyoto atau disebut Heian-Kyo [yang berarti juga 'tempat damai dan
sentosa'] di tahun tahun 794. Sejak itu dimulailah babak baru pemerintahan
Jepang yang lebih dikenal dengan era Heian.
Di sana klan Fujiwara semakin menguasai pemerintahan, anggota keluarga mereka semua tinggal di istana dan dengan pandainya memperkuat posisi dengan pernikahan anggota keluarga kaisar. Jasa terbesar klan Fujiwara adalah berkembangnya budaya dan kesenian Jepang, yang mulai menggali potensi negeri sendiri, tidak hanya mengimpor mentah-mentah budaya negara lain. Seni sastra, pakaian, melukis, puisi dan permainan olahraga seperti Igo dan Shogi berkembang di era ini. Penghuni istana amat memiliki cita rasa seni yang tinggi. Pakaian pun dibuat indah dengan aturan warna untuk masing-masing level di istana bahkan warna yang berbeda untuk setiap musim. Kaum wanitanya pun berbusana Kimono yang sudah menggunakan teknik pencelupan warna dan sulaman yang indah. Pada masa itu juga diciptakan sistem tulisan Hiragana katakana, tapi huruf Kanji Cina tetap dipakai oleh kaum pria dari kalangan atas bahwa ia terpelajar.
Di sana klan Fujiwara semakin menguasai pemerintahan, anggota keluarga mereka semua tinggal di istana dan dengan pandainya memperkuat posisi dengan pernikahan anggota keluarga kaisar. Jasa terbesar klan Fujiwara adalah berkembangnya budaya dan kesenian Jepang, yang mulai menggali potensi negeri sendiri, tidak hanya mengimpor mentah-mentah budaya negara lain. Seni sastra, pakaian, melukis, puisi dan permainan olahraga seperti Igo dan Shogi berkembang di era ini. Penghuni istana amat memiliki cita rasa seni yang tinggi. Pakaian pun dibuat indah dengan aturan warna untuk masing-masing level di istana bahkan warna yang berbeda untuk setiap musim. Kaum wanitanya pun berbusana Kimono yang sudah menggunakan teknik pencelupan warna dan sulaman yang indah. Pada masa itu juga diciptakan sistem tulisan Hiragana katakana, tapi huruf Kanji Cina tetap dipakai oleh kaum pria dari kalangan atas bahwa ia terpelajar.
Dari kesustraan, Murasaki Shikibu, bangsawan wanita
kala itu menulis Genji
Monogatari, sebuah karya sastra yang amat diakui hingga masa kini.
Selain ada juga Lady Sei Shonagon dengan bukunya Makura no Soshi dan banyak buku harian para bangsawan
wanita, seperti Kagero
Nikki, yang isinya bisa dikategorikan sebagai karya sastra. Mengapa
sastra lebih banyak ditulis oleh wanita? Karena zaman itu, posisi wanita
dianggap cukup penting. Seorang perempuan bila pandai menulis puisi atau cerita
bermain musik, maka ia bisa masuk ke kalangan atas dengan menjadi selir atau
istri. Kaum bangsawan pria sering meminta selirnya untuk menciptakan puisi
secara mendadak, jadi apabila sang wanita bisa memenuhi permintaannya itu, ia
akan dihormati. Dengan pengaruh ini, nuansa kebudayaan Jepang berkembang dengan
penuh cita rasa dan keindahaan.
Klan Fujiwara ini mencapai puncak kejayaannya pada masa Michinaga Fujiwara [966 - 1027] yang 4 anak perempuannya menikah dengan setiap kaisar yang memerintah. Anggota keluarga Fujiwara sendiri tidak ada yang menjadi kaisar, namun mereka bisa mengontrol pemerintahaan di belakang layar. Dominasi klan besar ini berakhir ketika Kaisar Go-Sanjo naik tahta tahun 1068 dan kebetulan ibunya bukan berasal dari klan Fujiwara. Mulailah perseteruan antara Go-Sanjo dan klan Fujiwara mengenai Shoen Go-Sanjo berusaha keras menyingkirkan pengaruh klan Fujiwara dari kancah politik dan istana. Saat ia turun tahta, Go-Sanjo menobatkan putranya, Shirakawa menjadi kaisar dan tetap pemerintahan melalui anaknya itu. Ia memastikan klan Fujiwara tidak akan bisa lagi mengendalikan pemerintahan Jepang dengan membentuk pemerintahan Insei, yang dikuasai oleh para mantan kaisar yang tidak memerintah lagi.
Klan Fujiwara ini mencapai puncak kejayaannya pada masa Michinaga Fujiwara [966 - 1027] yang 4 anak perempuannya menikah dengan setiap kaisar yang memerintah. Anggota keluarga Fujiwara sendiri tidak ada yang menjadi kaisar, namun mereka bisa mengontrol pemerintahaan di belakang layar. Dominasi klan besar ini berakhir ketika Kaisar Go-Sanjo naik tahta tahun 1068 dan kebetulan ibunya bukan berasal dari klan Fujiwara. Mulailah perseteruan antara Go-Sanjo dan klan Fujiwara mengenai Shoen Go-Sanjo berusaha keras menyingkirkan pengaruh klan Fujiwara dari kancah politik dan istana. Saat ia turun tahta, Go-Sanjo menobatkan putranya, Shirakawa menjadi kaisar dan tetap pemerintahan melalui anaknya itu. Ia memastikan klan Fujiwara tidak akan bisa lagi mengendalikan pemerintahan Jepang dengan membentuk pemerintahan Insei, yang dikuasai oleh para mantan kaisar yang tidak memerintah lagi.
Selain klan Fujiwara, ada juga klan-klan lain yang cukup
kuat dengan posisi mereka di luar istana yang sudah dikuasai klan Fujiwara.
Klan-klan besar ini lahir atas jasa Kaisar Tenmu [era Yamato - Ancient
Japan]yang mengeluarkan aturan bahwa keturunan generasi keenam dari seorang
Kaisar Tidak akan lagi dihitung sebagai keluarga kerajaan tetapi akan
dianugrahi nama keluarga yang terhormat. Dari sinilah cikal bakal 2 klan yang
akan berkuasa yaitu klan Taira [atau Heike]
dan Minamoto [atau Genji].
Klan Taira berasal dari Pangeran Katsurabara, putra dari Kaisar Kanmu;
sedangkan klan Minamoto adalah keturunan dari kaisar Seiwa. Kedua klan ini juga
menyewa banyak Samurai sebagai tentara pribadi mereka, hingga
menumbuhkan kekuatan militer dalam kedua klan ini. Klan Taira/Heikedengan
kekuatan samurai-nya
hendak mengambil alih kekuasaan Jepang. Kaisar pada waktu itu, Takakura meminta
bantuan Minamoto/Genji untuk melawannya. Pecahlah perang saudara yang dikenal
dengan Heiji no ran [1159]. Hasilnya adalah Taira
Kiyomori menjadi penguasa
Jepang. Tapi klan Minamoto tidak menyerah begitu saja. Setelah Kiyomori
mangkat, pecah Perang Gempei, yang pada akhirnya
mengakhiri kekuasaan klan Taira dan membawa Minamoto Yorimoto berhasil
menguasai Jepang tahun 1185. Setelah sukses menyingkirkan musuh-musuhnya
termasuk seluruh anggota keluarga yang dianggap mengancamnya, Yorimoto
mendirikan pemerintahanbaru yang disebut Bafuku di Kamakura, sebelah selatan Tokyo.
Pemerintahan ini berbasis militer dan dipimpin oleh seorang Shogun. Maka dimulailah
babak baru pemerintahan Jepang yang dikuasai oleh Shogunate dan paraSamurai-nya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Periodisasi Sastra Jepang
1.
Sastra Kuno
Sastra kuno Jepang mencakup karya-karya hingga zaman
Nara. Aksara kanji diperkenalkan di Jepang dari daratan Cina melalui
Semenanjung Korea. Aksara
Tionghoa dipakai orang Jepang
untuk menulis dengan sistem kanbun, dan sebagai aksara manyōgana untuk melambangkan bunyi bahasa Jepang. Karya sastra
dari periode kuno di antaranya buku sejarah seperti Kojiki(712) dan Nihon
Shoki (720), serta kumpulan puisi Manyōshū.
2.
Sastra Klasik
Sastra klasik mencakup karya sastra yang
dihasilkan sekitar zaman Heian. Bersamaan dengan puncak keemasaan kanbun dan kanshi, kompilasi waka yang pertama, Kokin Wakashū selesai disusun, dan kedudukan waka sederajat dengan kanshi. Walaupun sistem
penulisan resmi waktu itu adalah sistem kanbun, hiragana mulai populer untuk menulis bahasa Jepang, dimulai
dari Ki no Tsurayuki dengan Tosa Nikki, Sei Shōnagon dengan esai Makura no Sōshi, dan Murasaki
Shikibu dengan Hikayat
Genji senbagai karya-karya
sastra yang mewakili sastra klasik Jepang.
3.
Sastra Abad pertengahan
Sastra abad pertengahan mencakup karya
sastra mulai dari zaman Kamakura hingga zaman Azuchi-Momoyama. Fujiwara no Teika menyusun antologi waka Shin Kokin Wakashū. Sebagian besar karya sastra memakai sistem penulisan wakan konkōbun yang merupakan bentuk awal bahasa Jepang modern. Di
antara karya yang mewakili sastra abad pertengahan misalnyaHōjōki karya Kamo no Chōmei, Tsurezuregusa karya Yoshida Kenkō, dan Hikayat Heike. Teater sarugaku juga mulai berkembang pada periode ini.
4.
Sastra Modern
Sastra modern awal mencakup karya sastra
asal zaman Edo. Karya sastra yang mewakili periode ini adalah Ukiyozōshi karya Ihara Saikaku dan Kanazōshi yang keduanya dipengaruhi olehOtogizōshi. Pada zaman Edo, kabuki dan jōruri mencapai zaman keemasan. Haikai mencapai puncak kepopuleran dengan penyair-penyair
seperti Matsuo
Basho dan Kobayashi Issa.
5.
Sastra Kontemporer
Sastra kontemporer mencakup karya sastra
mulai zaman
Meiji. Setelah berakhirnya sakoku, budaya Eropa dan Amerika mulai mengalir masuk ke
Jepang hingga terjadi Bunmei-kaika. Sastra Jepang juga mendapat pengaruh yang besar.
Prinsip-prinsip novel modern dari Eropa dan Amerika mulai dikenal di Jepang. Tsubouchi
Shoyo dengan kritik sastra Shōsetsu Shinzui, sertaFutabatei Shimei dengan Shōsetsu Sōron dan Ukigumo mengawali periode sastra kontemporer Jepang.
B.
Bentuk
Sastra
a.
物語 Monogatari : 古物語 furumonogatari, 作り物語 tsukuri monogatari, 歌物語 utamonogatari, 擬古物語 gikomonogatari, 軍記物語 gunki monogatari
f. 短歌 Tanka (近代短歌
kindai
tanka)
C.
Kehidupan Sastra di Jepang
Negeri Sakura Jepang merupakan
negara yang paling progresif dan penguasa perekonomian dunia bersama negara-negara
maju lainnya semisal AS, Eropa, China, India maupun Brazil. Tak hanya itu,
Jepang juga dikenal sebagai negara yang sangat kaya warisan budaya, tradisi dan
juga kehidupan sastranya. Bisa dibilang, kehidupan masyarakat Jepang sangat
erat kaitannya dengan kebudayaan dan juga sastra.
Pada tahap awalnya, sastra Jepang memang banyak dipengaruhi oleh sastra dari Negeri Tirai Bambu China. Namun secara bertahap, Jepang menemukan dan mengembangkan sendiri karya sastranya sehingga memiliki daya tarik dan keunikannya tersendiri. Ditambah lagi dengan semakin eratnya hubungan diplomatik Jepang dengan negara-negara Barat yang dimulai sejak abad ke-19 membuat sastra-sastra di Jepang sedikit-banyak dipengaruhi oleh karya sastra dan penulis-penulis dari Barat tersebut.
Sejarah
kesusasteraan Jepang sendiri terbagi menjadi tiga periode yakni sastra klasik,
sastra abad pertengahan dan sastra modern. Sastra kuno ialah karya sastra yang
telah ada sejak abad ke-8. Karya sastra yang ditemukan di masa klasik mayoritas
didominasi oleh sastra-sastra yang masih ditulis dengan tulisan dan bahasa
China. Jepang juga banyak mengadopsi karakter huruf dari China untuk mengawali
penulisan bahasa mereka sendiri, atau yang dikenal sekarang dengan huruf kanji.
Periode klasik ini banyak dianggap sebagai masa keemasannya perkembangan sastra
di Jepang. Beberapa karya sastra pada periode ini antara lain Murasaki
Shikibu’s The Tale of Genji and The Pillow Book, Kokin Wakashu, Sei Shonagon
dan lainnya.
Kemudian sastra abad pertengahan dimana pada masa ini banyak dipengaruhi oleh Budhisme Zen. Karya sastra yang banyak ditulis dalam periode ini banyak berkaitan dengann cerita perang, gaya hidup sederhana maupun tragedi selamat dari upaya pembunuhan. Beberapa karya yang dianggap penting dari periode ini antara lain The Tale of the Heike, Hojoki oleh Kamo no Ch, Mei and Tsurezuregusa oleh Yoshida Kenko. Sedangkan sastra modern Jepang dimulai sejak abad ke-19 dan beberapa karyanya seperti Oku no Hosomichi, 36 Views of Mount Fuji, Nanso Satomi Hakkenden.
D.
Sastrawan Jepang
松尾芭蕉 MATSUO BASHO
Matsuo Munefusa, juga dikenal
sebagai Matsuo Bashō (Bahasa Jepang: 松尾芭蕉, 1644 - 28 November 1694) adalah seorang penyair Jepang. Ia dikenal sebagai pencipta haiku terbesar, yaitu
bentuk puisi dalam 5-7-5 suku kata. Menurut budaya sastra Jepang, biasanya ia
dipanggil Basho tanpa nama marganya, karena tanda
tangannya sebagai penyair tidak menyertakan nama marganya. Ia biasanya
membubuhkan tanda tangan はせを. Ia juga
merupakan salah satu penulis terbesar pada era Edo, dan ia mengangkat bentuk
haiku ke tingkat tertinggi.
Basho dilahirkan
di Iga, yang sekarang bagian dari prefektur Mie, dalam keluarga samurai. Setelah beberapa tahun
menjalani hidup samurai, ia menemukan sastra sebagai pekerjaan hidupnya dan
melepaskan kariernya sebagai samurai. Ia memulai hidupnya sebagai penyair
ketika ia mengabdi pada tuannya sebagai samurai. Mula-mula ia menamai dirinya Tiseu (桃青) karena sebagai penyair
Tosei bermakna pir tak matang, pir
dalam biru. Ini adalah penghormatan Basho untuk penyair Tionghoa, Li Po (李白) yang namanya berarti plum
dalam putih.
Pada tahun 1666
ia pensiun dan setelah 1675 pindah ke Edo, yang sekarang Tokyo. Di
Edo 1678 ia memenuhi kualifikasi sebagai master Haiku (Sosho) dan memulai hidup
sebagai penyair profesional. Pada 1680 ia pindah ke Fukagawa, di pinggiran kota
Edo (sekarang bagian dari Tokyo). Ia menanam pohon basho dan menamai dirinya
Basho karena pohon itu pohon favoritnya di tamannya.
千代尼 FUKUDA CHIYO-NI
Chiyo-ni (Kaga no Chiyo) (千代尼; 1703 - 2 Oktober 1775) adalah seorang penyair haiku Jepang pada zaman Edo, yang dikenal melalui
syair-syairnya tentang bunga morning glory (asagao).
Lahir di Matto, Provinsi Kaga (kini Prefektur Ishikawa) sebagai putri seorang
pembingkai gambar, ia menjadi murid penyair 岸弥左衛門 pada usia 12 tahun. Guru-guru Chiyo-ni adalah murid-murid Matsuo Basho,
dan ia bertahan pada gaya Basho dalam karyanya. Pada usia 17 tahun, ia telah
menjadi populer di sepanjang Jepang berkat karya-karyanya.
川端 康成 YASUNARI KAWABATA
Yasunari Kawabata (川端 康成 Kawabata Yasunari?, lahir di Osaka, 14 Juni 1899 – meninggal di Zushi, Kanagawa, 16 April 1972pada umur 72 tahun) adalah
seorang novelis Jepang yang prosa liriknya membuat ia memenangkan Penghargaan Nobel
dalam Sastrapada 1968. Ia menjadi orang Jepang pertama yang memperoleh
penghargaan tersebut. Karya-karyanya hingga kini masih dibaca bahkan di dunia
internasional.
国木田 独歩 DOPPO
KUNIKIDA
Kunikida Doppo (国木田 独歩, lahir di Chōshi, Chiba, 15 Juli 1871 – meninggal di Tokyo, 23 Juni 1908 pada umur 36 tahun) adalah
penulis novel dan puisi romantis Jepang dari periode Meiji. Ia dikenal
sebagai salah seorang perintis naturalisme dalam
sastra Jepang.
紫式部 MURASAKISHIKIBU
Murasaki Shikibu (紫式部, lahir 973 – meninggal 1014 atau 1025) adalah novelis dan penyair Jepang, sekaligusdayang di istana kekaisaran pada zaman Heian. Ia dikenal sebagai penulis Hikayat Genji yang ditulis dalam bahasa Jepang kira-kira antara tahun 1000 dan 1012.
Murasaki Shikibu
adalah nama pena, nama aslinya tidak diketahui.
Beberapa sejarawan memperkirakan bahwa nama aslinya adalah Fujiwara Takako, seperti
tertulis dalam nama pelayan istana dengan pangkat shōji pada tanggal 29 bulan 1 tahun 4 Kankō (19 Februari 1007) menurut Midō Kampaku Ki, sebuah buku
harian yang ditulis oleh Fujiwara no Michinaga, walaupun teori ini tidak banyak didukung oleh
sejarawan lainnya.[1] Dalam buku harian pribadinya yang berjudul Buku Harian Murasaki Shikibu, ia menulis
bahwa nama panggilannya di istana adalah Murasaki, seperti nama
tokoh dalam novel Hikayat
Genji yang ditulisnya.
"Shikibu" menunjuk kepada pangkat ayahnya di Biro Protokoler Istana (Shikibu-shō).
Dia dibesarkan di
rumah keluarga ayahnya, tempatnya belajar membaca dan menulis aksara Tionghoa yang menurut tradisi waktu itu tidak diajarkan kepada
perempuan. Ketika itu aksara Tionghoa adalah bahasa tulis di kantor-kantor
pemerintah. Dia diperkirakan menikah ketika berumur 25 tahunan hingga menjelang
30 tahun, dan melahirkan seorang anak perempuan sebelum suaminya meninggal, dua
tahun setelah mereka menikah. Hikayat
Genji tidak jelas diketahui
kapan mulai ditulis, tapi kemungkinan ketika dia masih bersuami atau beberapa
lama setelah dia menjanda. Pada sekitar tahun 1005, Murasaki diminta untuk bekerja
sebagai dayang di istana kaisar di bawah pemerintahan Permaisuri
Shōshi. Kemungkinan dia diminta bekerja di istana karena
reputasinya sebagai penulis sudah terkenal. Selama bekerja di istana, dia terus
menulis dan terus menambahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama dia
bekerja di istana ke dalam karyanya. Setelah lima atau enam tahun mengabdi, dia
meninggalkan istana untuk pensiun bersama Permaisuri Shōshi ke sekitar Danau Biwa. Para cendekiawan tidak
sepakat mengenai tahun kematiannya, sebagian besar di antara mereka sepakat
bahwa Murasaki Shikibu meninggal pada tahun 1014, tapi sebagian lainnya
memperkirakan dia masih hidup hingga tahun 1025.
Dua karya paling
utama dari Murasaki Shikibu adalah Hikayat
Genji dan kumpulan puisi Buku Harian Murasaki Shikibu. Dalam satu
dekade setelah selesai ditulis, Hikayat
Genji telah beredar ke
seluruh provinsi. Tidak sampai satu abad setelah selesai ditulis, novel ini
telah diakui sebagai karya klasik sastra Jepang, dan telah
menjadi subjek kritik sastra. Pada awal abad ke-20 karyanya telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris, semuanya berjumlah enam
jilid yang selesai pada tahun 1933. Para ahli sastra terus menyadari pentingnya
karya-karya Murasaki yang menggambarkan kehidupan di istana kaisar sepanjang
masa keemasan zaman Heian. Sejak abad ke-13 karya-karyanya telah menjadi sumber
inspirasi bagi seniman-seniman Jepang dan ahli cetak kayu ukiyo-e.
E. Karya
Sastra
源氏物語 HIKAYAT GENJI
Hikayat Genji (源氏物語 Genji Monogatari?) atau Kisah
Genji adalah karya sastra
klasik Jepang berbentuk novel yang ditulis Murasaki
Shikibu di pertengahan zaman Heian.
Hikayat ini disebut-sebut dalam buku sejarah terbitan tahun 1001, namun penulisannya
dianggap belum selesai pada tahun tersebut.
Berdasarkan jumlah bab, isi, dan pencapaian di bidang sastra Jepang,
Genji Monogatari merupakan salah satu karya terbesar mengenai keluarga
kekaisaran di Jepang, sekaligus karya novel terbesar dalam kesusastraan Jepang.
Hikayat Genji merupakan cerita yang sangat panjang dan terdiri dari
54 bab. Isinya mengenai kisah seputar istana kekaisaran yang terdiri dari 800 waka.
Cerita
Hikayat Genji secara garis besar terdiri dari 3 bagian:
·
Bagian I : kelahiran
tokoh utama sebagai seorang pangeran (putra kaisar) yang menjadi warga biasa
dan diberi nama kehormatan Genji, dan dikenal dengan nama Hikaru Genji. Setelah
dewasa, Hikaru Genji dikelilingi banyak wanita.
·
Bagian II : kerumitan
kisah cinta Hikaru Genji.
·
Bagian II : kisah anak
cucu Hikaru Genji setelah ia tutup usia.
Karya paling terkenal dari Murasaki Shikibu adalah Hikayat Genji, novel tiga
bagian yang terdiri dari 1.100 halaman dan 54 bab. Penulisan novel ini diperkirakan perlu
waktu satu dekade. Bab-bab paling awal mungkin ditulis untuk majikan sewaktu
dia masih bersuami atau tidak lama setelah suaminya meninggal. Dia terus
menulis selama bekerja di istana dan kemungkinan selesai ditulis ketika dia
masih bekerja untuk Shōshi. Michinaga memberinya kertas berharga mahal dan
tinta, dan bantuan ahli kaligrafi. Jilid pertama yang ditulis tangan
kemungkinan disusun dan dijilid oleh para dayang. Dalam buku The Pleasures of Japanese
Literature, Keene mengklaim
bahwa Murasaki menulis "adikarya fiksi Jepang" dengan mengambil
unsur-unsur tradisi waka buku harian istana, dan monogatari asal zaman
sebelumnya, ditulisnya dalam campuran aksara Tionghoa dan aksara Jepang seperti
dalam Putri Kaguya atau Hikayat Ise. Ia
mengambil unsur-unsur serta mencampurkan gaya penulisan sejarah Cina, puisi
naratif, dan prosa Jepang kontemporer. Adolphson menulis bahwa penempatan
subjek yang biasa-biasa berdampingan dengan gaya sastra Tionghoa menghasilkan
kesan parodi atau satire, sekaligus cara pengungkapan yang unik. Hikayat Genji mengikuti format tradisional
monogatari yang mengisahkan sebuah cerita, terutama jelas terlihat dari
penggunaan narator. Namun Keene
berpendapat bahwa Murasaki mengembangkan genre monogatari melampaui batas-batas
yang ada, dan dengan demikian telah menciptakan suatu bentuk yang sama sekali
modern. Cerita Hikayat Genji berlatar pada akhir abad ke-9 hingga awal abad
ke-10, dan Murasaki menghilangkan unsur-unsur dongeng dan fantasi seperti
sering ditemukan pada monogatari sebelumnya.
Tema-tema dalam Hikayat
Genji umum ditemui pada
masa-masa itu, dan didefinisikan oleh Shively sebagai mengemas "tirani
waktu dan kesedihan cinta romantis yang tak terhindari".Tema utamanya
adalah kerapuhan hidup, "kesedihan eksistensi manusia" atau mono no aware, istilah yang dipakainya lebih dari seribu kali dalam Hikayat Genji. Keene berspekulasi bahwa dalam kisah
"pangeran bersinar" (Hikaru Genji), Murasaki mungkin telah
menciptakan untuk dirinya sendiri, sebuah pelarian ideal dari kehidupan istana
yang kurang menyenangkan untuknya. Tokoh Pangeran Genji dibentuknya sebagai protagonis
yang berbakat, tampan, berbudi halus, namun masih manusiawi dan simpatik.
Menurut Keene, Genji memberikan gambaran mengenai periode
Heian, misalnya tentang maraknya hubungan cinta, meskipun perempuan biasanya
tetap tak terlihat di belakang layar, tirai, atau fusuma.
Menurut Helen McCullough karya Murasaki memiliki daya tarik universal dan berpendapat bahwa Hikayat Genji melampaui baik genre maupun zaman. Tema dasar dan latar, cinta di istana Heian, dan asumsi-asumsi budaya berasal dari pertengahan zaman Heian. Namun kegeniusan Murasaki Shikibu yang unik telah membuat karyanya berarti bagi banyak orang sebagai sebagai pernyataan kuat dari hubungan antarmanusia, kemustahilan kebahagiaan abadi dalam cinta ... dan yang terpenting, dalam dunia penuh kesengsaraan, kepekaan terhadap perasaan orang lain".[71] Pangeran Genji mengakui bahwa dalam diri setiap kekasihnya terdapat kecantikan dari dalam seorang wanita dan kerapuhan hidup, yang menurut Keene, membuatnya heroik. Hikayat Genji populer di semua kalangan. Kaisar Ichijō meminta agar cerita itu dibacakan untuknya meskipun ditulis dalam bahasa Jepang. Pada tahun 1021, semua bab diketahui sudah selesai ditulis, dan karya ini sulit diperoleh di daerah-daerah sehingga banyak dicari orang.
MUSASHI
Musashi adalah sebuah novel fiksi karya Eiji Yoshikawa yang bercerita mengenai Miyamoto Musashi, pengarang buku Buku Lima Cincin (五輪書Go
Rin No Sho) yang mungkin adalah pendekar pedang (samurai) Jepang paling terkenal yang pernah hidup. Di Jepang, kisah ini
pertama kali diterbitkan dalam bentuk serial di surat
kabar Jepang Asahi
Shimbun pada
tahun 1935-1939 dan dibukukan dalam pada 1980-an.
Di Indonesia, kisah ini pertama kali diterbitkan dalam bentuk cerita bersambung di surat kabar KOMPAS pada tahun 1983-1984, dilanjutkan dengan bentuk tujuh jilid buku saku pada sekitar 1990-an. Versi bahasa Indonesia diterjemahkan bukan dari kisah asli bahasa
Jepang-nya (sekitar 26
ribu halaman), melainkan dari terjemahan bahasa Inggris yang lebih ringkas (sekitar 900 halaman). Pada tahun 2002, Gramedia Pustaka Utamamenerbitkan kembali buku ini dalam bentuk satu buku lengkap setebal 1247 halaman.
“Nama saya Musashi, saya adalah seorang pengembara yang
sedang mencari jalan kesatria” begitulah perkataan yang sering diucapkan oleh
pemuda Musashi. Seorang samurai “ronin” legendaris dizamannya yang menapaki
jalan pedang, ingin menjadi yang terkuat.Mengembara keseluruh pelosok Jepang
sambil menempa diri dalam seni Kenjutsu & Bushido (seni menggunakan pedang)
& (seni kesatria).
Tokoh
Musashi ini diangkat menjadi centre tokoh di novel MUSASHI karya Eiji
Yoshikawa. Dan merupakan karya sastra yang layak diacungi jempol, karena sang
pengarang mengangkat budaya Jepang, perilaku sosial, seni beladiri Jepang
terutama pada jaman Shogun. Sehingga novel MUSASHI ini bukan cerita silat, tapi
lebih merupakan novel sosial dengan bumbu-bumbu seni beladiri dan intrik
kekuasaan.
Musashi sebelumnya adalah prajurit yang desersi saat perang
besar Sekigahara karena berpihak pada tokoh yang kalah. Berubah menjadi biang
onar selanjutnya mendapatkan pencerahan dari seorang rohaniawan, Takezo. Maka
beralih namalah Yang awalnya Takezo menjadi Miyamoto Musashi atau Musashi.
Berikutnya dimulailah perjalanan Musashi menjadi “ronin”
(samurai tak bertuan; biasanya samurai mengabdikan dirinya pada seorang tuan).
Dan mulailah penempaan diri Musashi dalam jalan Bushido, menempa diri dalam
kedisiplinan militer dan seni pedang yang ketat serta semangat melayani,
seperti halnya seorang samurai berjiwa Bushido.
Seperti halnya dalam cerita-cerita silat, adalah lumrah saat
itu dalam “dunia persilatan” untuk saling bertarung dalam sebuah tantangan
resmi untuk saling menguji kemampuan. Dan Musashi muda ini pun melakukan hal
yang sama, atas dasar ingin membuktikan kekuatan dirinya sendiri. Akhirnya
sederetan pertarungan dilaluinya. Mulai dari menjajal ilmu tombak Hozoin, ilmu
pedang Yagyu Shinkage-ryu, ilmu pedang Yoshioka Kempo, seni beladiri tongkat
Gonosuke sampai teknik senjata rantai-sabit Sasado Baiken.
Pertarungan demi pertarungan yang mempertaruhkan nyawa
akhirnya memberikan “pencerahan” kepada diri Musashi untuk lebih bijak, tenang
dalam menyikapi hidup. Dan gelar ambisius untuk menjadi TERKUAT didaratan
Jepang perlahan sirna, karena Musashi menyadari makin kuat mengejar cita-cita
Terkuat, lambat laun akan menghancurkan dirinya atau orang-orang lain, Filosofi
“Di Atas Langit Ada Langit” betul-betul dirasakan oleh Musashi setelah melewati
sederetan pertarungan maut.
Sampai setelah berhasil mengalahkan rival terkuatnya, Sasaki
Kojiro, Musashi akhirnya “menggantungkan” pedang katana-nya . Selanjutnya lebih
memfokuskan diri dengan Zen, kaligrafi dan menjadi pelatih seni beladiri.
Membaca novel Musashi karya Eiji Yoshikawa ini selain
membaca pola pikir seorang Samurai, juga seakan diajak menyusuri daerah alam
Jepang serta kota Kyoto di era Shogun, abad ke 16. Seni beladiri Jepang saat
itu merupakan suatu ketrampilan yang dapat menunjukkan status sosial seseorang
terutama dari golongan Samurai. Pedang Katana, Wakizashi, Tombak merupakan
senjata yang sudah menjadi “mainan” seorang Samurai yang terus melatih ilmu
kemiliteran secara disiplin dan konsisten.
Semangat juang pantang menyerah, menjunjung tinggi
nilai-nilai kesatria, keberanian walaupun terkadang ada juga kelicikan manusia
yang digerakkan oleh ketamakan dan kekuasaan.
Tokoh
Musashi Miyamoto ini adalah tokoh Samurai yang nyata, yang memiliki
keterampilan memainkan dua pedang (pedang panjang-Katana dan pedang
pendek-Wakizashi), berbeda dengan samurai lain yang biasa memainkan satu bilah
pedang Katana saja.Keunikan Musashi ini serta gaya keterampilan seni pedangnya
yang kontemporer dan inovatif memberikan dirinya keuntungan saat harus
menghadapi banyak lawan atau lawan yang lebih kuat.
Dimasa
tuanya sebagai seorang praktisi bela diri dan seni pedang, Musashi menulis
sebuah buku “Go Rin No Sho” (Kitab Lima Unsur/Lima Cincin). Yang isinya
merincikan strategi-strategi sebuah pertarungan dan filosofi seni pedang. Konon
kabarnya Go Rin No Sho ini setara dengan The Art Of War, Sun Tzu yang telah
begitu melegenda dari daratan Tiongkok.
Buku Novel
MUSASHI ini konon sering dijadikan salah satu literatur untuk memahami budaya
Jepang serta nilai-nilai yang dianut masyarakat Jepang dalam kancah persaingan.
“Di Atas Lagit Ada Langit”
かぐや姫の物語 / 竹取物語 PUTRI KAGUYA
Putri Kaguya (かぐや姫の物語 Kaguya hime no monogatari, Kisah Putri
Kaguya) atau Taketori monogatari (竹取物語, Kisah Pengambil Bambu) adalah karya sastra Jepang yang tertua. Kisah seorang anak perempuan yang
ditemukan kakek pengambil bambudari dalam batang
bambu yang bercahaya.
Cerita diperkirakan berasal dari awal zaman Heian.
Di dalam Man'yōshū jilid ke-16 lemma 3791 terdapat chōka (prosa panjang) berjudul Taketori
no Okina (Kakek Pengambil
Bambu) yang mengisahkan seorang wanita dari kahyangan (tennyo). Kisah
ini diperkirakan ada hubungannya dengan kisah Putri Kaguya yang juga dikenal
sebagai Taketori no okina no
monogatari (Kisah Kakek
Pengambil Bambu).
Pada zaman dahulu
hiduplah seorang kakek bersama istrinya yang juga sudah tua. Kakek bekerja
dengan mengambil bambu di hutan. Bambu dibuatnya menjadi berbagai barang, dan
orang-orang menyebutnya Kakek Pengambil Bambu. Pada suatu hari, ketika kakek
masuk ke hutan bambu, terlihat sebatang bambu yang pangkalnya bercahaya. Kakek
merasa heran dan memotong batang bambu tersebut. Keluar dari dalam batang
bambu, seorang anak perempuan yang mungil, tingginya cuma sekitar 9 cm tapi
manis dan lucu. Anak perempuan tersebut dibawanya pulang dan dibesarkannya
seperti anak sendiri. Sejak itu, setiap hari kakek selalu menemukan emas dari dalam batang
bambu. Kakek dan nenek menjadi kaya. Dalam tiga bulan, anak perempuan yang
dibesarkan tumbuh menjadi seorang putri yang sangat cantik. Kecantikan putri
ini sulit ditandingi, begitu cantiknya sehingga perlu diberi nama. Orang-orang
menyebutnya Putri Kaguya (Nayotake no kaguya hime).
Berita kecantikan
Putri Kaguya tersebar ke seluruh negeri. Pria dari berbagai kalangan, mulai
dari bangsawan hingga rakyat biasa, semuanya ingin menikahi Putri Kaguya.
Mereka datang berturut-turut ke rumah Putri Kaguya untuk meminangnya, namun
terus menerus ditolak oleh Putri Kaguya. Walaupun tahu usaha mereka sia-sia,
para pria yang ingin menikahi Putri Kaguya terus bertahan di sekeliling rumah
Putri Kaguya. Satu per satu dari mereka akhirnya menyerah, dan tinggal 5 orang
pria yang tersisa, yang semuanya pangeran dan pejabat tinggi.
Mereka tetap
bersikeras ingin menikahi Putri Kaguya, sehingga Kakek Pengambil Bambu membujuk
Putri Kaguya, "Perempuan itu menikah dengan laki-laki. Tolong pilihlah
dari mereka yang ada." Dijawab Putri Kaguya dengan, "Aku hanya mau
menikah dengan pria yang membawakan barang yang aku sebutkan, dan sampaikan ini
kepada mereka yang menunggu di luar."
Ketika malam
tiba, pesan Putri Kaguya disampaikan kepada kelima pria yang menunggu. Pelamar
masing-masing diminta untuk membawakan barang yang mustahil didapat,mangkuk suci Buddha, dahan pohon emas berbuah berkilauan,
kulit tikus putih asal kawah gunung berapi, mutiara naga, dan kulit kerang bercahaya milik burung walet. Pelamar pertama kembali
membawa mangkuk biasa, pelamar kedua membawa barang palsu buatan pengrajin, dan
pelamar ketiga membawa kulit tikus biasa yang mudah terbakar. Semuanya ditolak
Putri Kaguya karena tidak membawa barang yang asli. Pelamar keempat menyerah
akibat dihantam badai di perjalanan, sedangkan pelamar kelima tewas akibat
patah pinggang.
Berita kegagalan
ini terdengar sampai ke kaisar yang menjadi ingin bertemu dengan Putri Kaguya.
Kakek Pengambil Bambu membujuk Putri Kaguya agar mau menikah dengan Putri
Kaguya, tapi Putri Kaguya tetap menolak dengan berbagai alasan. Putri Kaguya
bahkan tidak mau memperlihatkan dirinya di depan kaisar. Kaisar akhirnya
memutuskan untuk menyerah setelah saling bertukar puisi dengan Putri Kaguya.
Musim gugur pun tiba. Putri Kaguya menghabiskan malam demi malam
dengan memandangi Bulan sambil menangis. Kalau ditanya kenapa
menangis, Putri Kaguya tidak mau menjawab. Namun ketika tanggal 15 bulan 8
(September) semakin dekat, tangis Putri Kaguya makin menjadi. Putri Kaguya
akhirnya mengaku, "Aku bukan manusia bumi, tanggal 15 ini pada saat bulan purnama,
aku harus kembali ke Bulan." Identitas sebenarnya Putri Kaguya disampaikan
kepada kaisar. Prajurit-prajurit gagah berani diutus kaisar untuk melindungi
Putri Kaguya dari jemputan orang Bulan.
Malam Bulan purnama itu pun tiba, sekitar jam 2 malam, dari langit
turun orang-orang Bulan. Para prajurit dan Kakek Pengambil Bambu tidak mampu
mencegah mereka membawa Putri Kaguya kembali ke bulan. Putri Kaguya adalah
penduduk ibu kota bulan yang sedang menjalani hukuman buang ke bumi. Sebagai
tanda mata, Putri Kaguya memberikan obat hidup kekal (不死 fushi, tidak pernah mati)kepada kaisar. Namun tanpa Putri Kaguya, kaisar
tidak merasa perlu hidup selama-lamanya. Diperintahkannya obat tersebut untuk
dibakar di Suruga,
di atas puncak gunung tertinggi di Jepang. Gunung tersebut kemudian disebut
"Fushi no Yama," dan akhirnya disebut "Fujiyama" (Gunung Fuji).
Obat yang dibakar di atas gunung kabarnya membuat Gunung Fuji selalu
mengeluarkan asap hingga sekarang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sastra Jepang merupakan
karya sastra dalam bahasa atau studi mengenai karya sastra tersebut dan
pengarangnya. Pada tahap awalnya, sastra Jepang memang banyak dipengaruhi oleh
sastra dari Negeri Tirai Bambu China. Namun secara bertahap, Jepang menemukan
dan mengembangkan sendiri karya sastranya sehingga memiliki daya tarik dan
keunikannya tersendiri. Dalam bentuknya, bukan
hanya imajinasi atau rekaan, tetapi sebagian merupakan catatan perjalanan, buku
harian kapten kapal, surat kenangan, esai, uraian pengamatan keadaan tempat,
alam dan masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar