Musafir (again)
Selasa, 06 Mei 2014
0
komentar
MUSAFIR (again)
Cerpen Naufal
Qadri Syarif
Seorang
musafir tengah melakukan perjalanan tanpa tujuan. Ia berjalan menyusuri jalan
tanah di bawah teriknya sinar matahari. Tiba-tiba dia terhenti sejenak ketika
kumpulan awan putih menutupi langit biru sehinggah cahaya sinar matahari yang
sedaritadi menusuk-nusuk bagaikan jarum kini seolah tak ia rasakan lagi. Di
tengah keasyiknya memandangi awan putih yang terbentang indah itu dia terbayang
akan kenangan sewaktu ia masih kecil ketika ingin mendirikan sebuah istana di
atas langit. Setelah beberapa saat ia kembali memandangi jalan tanah yang
seolah tak berujung. Setapak demi setapak ia lalui jalan itu dengan sendal
jepit usang yang sesekali berdecit karena basah setelah cuci kaki di sungai
yang ia lewati sebelumnya.
Awan
yang tadinya menjadi tameng tubuhnya dari incaran terik matahari kini mulai
menggulung perlahan seiring datangnya angin. Musafir itu terus menyusuri jalan
tanah itu tanpa henti. Namun seketika ia merasakan ada sesuatu yang sedang
mengikutinya. Sesuatu yang tak ia ketahui bentuk dan rupanya yang
terdengar hanya suara napas
terengah-engah dari kejauhan. Akan tetapi, semakin lama suara napas terengah-engah itu semakin dekat dia
kemudian memutuskan untuk menoleh kebelakang. Ternyata seekor anjing yang ganas
sedang mengejarnya dengan begitu bergairah. Tanpa ia sadari kakinya langsung
mengambil langkah seribu ketika melihat anjing itu semakin mendekat. Sang
musafir dan anjing itu saling kejar megejar sepanjang jalan. Karena rasa takut
yang dimiliki oleh musafir itu walaupun ia lelah untuk berlari ia sama sekali
tidak menurunkan kecepatanya yang akhirnya membuat sepasang sandal jepit usang
yang ia kenakan terlepas begitu saja. Tanpa memperdulikan sendalnya dia terus
berlari menjauhi anjing ganas itu. Setelah musafir itu meresa kalau anjing itu
tidak mengikutinya ia kemudia menoleh, ternyata benar anjing itu tidak
mengejarnya lagi namun sayang sendal jepitnya yang terlepas tadi kini sudah
raup dimakan anjing tersebut. Dengan perasaan puas anjing itu pun pergi
meninggalkan musafir bersama sendal yang mungkin sudah berada dalam perutnya.
Musafir
kembali melanjutkan perjalanannya. Rasa lelah mulai dirasakan oleh musafir itu
karena kehabisan tenaga untuk berlari menghindari kejaran anjing tadi. Musafir
pun memutuskan untuk beristirahat sejenak sembari mengatur napas di bawah pohon
asam yang sangat rindang. Tiupan angin sepoi-sepoi seakan membuat tenaganya
perlahan terisi kembali. Tiba-tiba terdengar suara yang entah darimana
asalanya. Musafir yang sedari tadi asik beristirahat seakan tersentak mendengar
suara itu. Suara itu terdengar dekat tetapi sumbernya tidak diketahui darimana.
Hal tersebut membuat sang musafir menjadi bingung. Di saat yang bersamaan
melintas seekor ulat di dekatnya. Awalanya dia mengira kalau ulat itu yang
berbicara padanya tapi ternyata bukan. Tiba-tiba suara itu terdengar kembali.
Musafir berusaha mencari sumber datangnya suara tersebut. Ketika dia menoleh
kebelakang ternyata pohon asam yang dia sandari itulah yang berbicara kepadanya.
Perbincanganpun tak bisa di hindarkan dari mereka berdua. Sang pohon asam
memulai pembicaraaan dengan santai. Ia ingin mengetahui asal dan hendak kemana
perginya musafir tersebut. Namun musafir hanya mejawab dengan singkat bahwa dia
berasal dari ujung timur dan hendak menuju ke ujung barat. Ternyata setelah
berbincang-bicang cukup lama, pohon asam itu sangat tertarik untuk lebih tahu
lagi tentang sosok musafir itu.
Di
saat yang bersamaan angin kembali berhembus. Membuat awan kembali menghalangi
teriknya matahari. Suasana itu menambah kenikmatan istirahat sang musfir. Tak
lama kemudia rasa ingin tahu pohon asam itu kembali mencuat, ia kini
berkomentar tentang kejadian yang baru saja menimpa musafir yang tengah
bersandar di batangnya. Ia berpendapat bahwa seharusnya musafir tersebut
kembali untuk mengambil sendalnya yang terlepas karena tanpa sendal itu pasti
perjalanan musafir akan lebih sulit. Namun, musafir dengan mata terpejam hanya
mengatakan bahwa dia tidak ingin mati konyol, lagi pula katanya dia sudah
mengikhlaskan sendalnya itu dan mengenai kesulitan melakukan perjalanan tanpa
sendal baginya itu hal yang biasa karena setiap usaha itu pasti ada sebuah
rintangan yang harus dilewati, dia juga menambahkan bahwa rintangan itu akan
mudah untuk di lewati jika di hadapi dengan senyuman dan tidak menjadikan
rintangan itu sebagi beban.
Penjelasan
yang dilakukan oleh meusafir tersebut seakan membakar rasa ingin tahu sang
pohon asam. Ia kembali beceloteh dan mengeluarka teori bahwa jadi manusia itu
mudah dan sangat enak sekali. Ia juga menceritakan tentang kabar yang ia dengar
tentang manusia yang bersenang-senang dengan menghambur-hamburkan harta serta
memakai narkoba untuk menghilangkan stres sejenak. Seolah teori dan cerita yang
keluar dari mulut pohon asam itu membuat sang musafir sedikit bersemangat untuk
melanjutkan pembicaraan di antara mereka. Musafir kembali berpendapat bahwa
jadi manusia itu sulit dan bagi mereka yang suka bersenang-senang
menghambur-hamburkan harta serta mengonsumsi narkoba menurut musafir mereka
orang yang tidak tahu apa arti sesungguhnya dari suatu kehidupan.
Angin
berhembus kembali bersamaan dengan menepinya awan yang membuat terik matahari
kembali menghujani bumi. Musafir bangkit dari tempatnya dan mulai mengemasi
barang-barangnya. Seolah tidak terima dengan penjelasan musfir tadi, pohon asam
kembali bertanya mengenai seluruh kunci kehidupan manusia. Sambil mengemasi
barang-barangnya musafir hanya berkata bahwa pohon asam itu bukan manusia dan
kalau dia manusia pasti dia punya hati nurani yang akan menuntunnya.
Deretan
kata-kata itu seolah membuat mulut pohon asam diam seribu bahasa. Kini musfir
siap untuk melanjutkan perjalanannya lagi. Namun, pohon asam kembali menahanya
dengan alasan bahwa sang musafir tidak memiliki alas kaki untuk melanjutkan
perjalanan. Akan tetapi, musafir hanya mengatakan bahwa kehilangan pegangan
bukan berarti berhenti berusaha.
Kata-kata itu kembali membuatnya bingung sehinggah kembali berasumsi bahwa
ternyata sendal jepit itu adalah salah satu pegangan sang musafir. Musafir
hanya bisa tertawa mendengar perkataan pohon asam. Karena dia sudah bingung
mengenai cara agar pohon asam ini bisa mengerti maksudnya akhirnya dia
memutuskan untuk tidak melanjutkan pembicaraan itu.
Musafir kembali melangkah setapak demi setapak
di iringi langit yang mulai memerah. Jejak kakinya sangat tergambar jelas di
setiap pijakan yang ia lewati
0 komentar:
Posting Komentar