info mengenai amandemen UUD 5
Selasa, 21 Januari 2014
0
komentar
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyatakan dukungannya
terhadap upaya amandemen ke-5 UUD 1945 yang digagas oleh Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) RI.
“NU tak sakralkan amandemen, yang tak sesuai dengan prinsip para pendiri bangsa, diamandemen lagi,” katanya dalam acara Seminar Nsional Kerjasama PBNU dengan Kelompok DPD di MPR RI, Selasa, 13 November 2012 di gedung PBNU, Jakarta.
Ia menegaskan, NU tidak mungkin diam soal kebangsaan yang saat ini tengah mengalami kemerosotan. Tiga persoalan penting yang dihadapi bangsa adalah tidak jelasnya sistem kenegaraan, tidak jelasnya sistem ekonomi dan tidak jelasnya sistem kebudayaan. Hal ini diantaranya karena konstitusi yang diamandemen jauh dari cita-cita bangsa, yaitu semangat proklamasi dan Pancasila.
Beberapa persoalan yang perlu ditinjau ulang adalah prinsip presidensial harus diperkuat kembali karena sudah mengarah kepada sistem parlementer sehingga pemerintahan menjadi mandek karena terlalu kuatnya parlemen.
Kiai Said juga menyampaikan diaturnya kembali otonomi daerah yang sekarang sudah kebablasan. Para kepala daerah dengan kekuasaan yang dimiliki, menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.Pilgub juga harus dikembalikan ke DPRD karena menimbulkan ongkos yang sangat besar.
PBNU juga mengusulkan penyederhanaan partai, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negera, menghidupkan kembali utusan golongan, tetapi tidak mengikuti pola orde baru,
Kang Said juga mengusulkan peninjauan kembali pasal 33 ayat 4 dan 5 yang membuka peluang swasta asing mengelola kekayaan negara sehingga hilangnya kedaulatan negara yang akhirnya kekayaan hanya dikuasai segelintir orang dan masyarakat sekitarnya tetap dalam keadaan miskin.
Terkait dengan sejumlah perundangan, sejumlah UU yang merugikan rakyat seperti UU Migas, UU Minerba, UU Pangan, UU Pendidikan Nasional, UU Penyiaran dan lainnya yang merugikan rakyat penting untuk ditinjau ulang atau dibatalkan.
Sementara itu, Bambang Soeroso, ketua kelompok DPD di MPR RI menyatakan selama 10 tahun setelah amandemen keempat UUD 1945 merupakan waktu yang cukup untuk mengevaluasi pelaksanaan UUD pasca Amandemen 1-4.
Beberapa pesoalan kebangsaan yang mengemuka diantaranya semangat nasionalisme dan integrasi bangsa yang mengalami tantangan luar biasa, penegakan hukum, nuansa delegitimasi dan penurunan tingkat kepercayaan atas kienrja lembaga penegak hukum, kegamangan dalam demokrasi pancasila, tata kelola pemerintahan yang baik dan kedaulatan ekonomi nasional yang makin terancam dengan deranya pengaruh liberalisasi ekonomi kapital global.
DPD saat ini telah melakukan kegiatan penyerapan aspirasi dan uji publik yang mendalam dengan melibatkan seluruh komponen bangsa yang akhirnya terdapat 10 naskah usulan perubahan yang meliputi penguatan sistem presidensial, penguatal lembaga perwakilan rakyat, penguatan otonomi daerah, calon presiden perseorangan, pemilahan pemilu nasional dan pemilu daerah, forum previlegitum, optimalisasi peran MK, penambahan pasal hak asasi manusia, penambahan bab Komisi Negera dan penajaman bab tentang pendidikan dan perekonomian
“NU tak sakralkan amandemen, yang tak sesuai dengan prinsip para pendiri bangsa, diamandemen lagi,” katanya dalam acara Seminar Nsional Kerjasama PBNU dengan Kelompok DPD di MPR RI, Selasa, 13 November 2012 di gedung PBNU, Jakarta.
Ia menegaskan, NU tidak mungkin diam soal kebangsaan yang saat ini tengah mengalami kemerosotan. Tiga persoalan penting yang dihadapi bangsa adalah tidak jelasnya sistem kenegaraan, tidak jelasnya sistem ekonomi dan tidak jelasnya sistem kebudayaan. Hal ini diantaranya karena konstitusi yang diamandemen jauh dari cita-cita bangsa, yaitu semangat proklamasi dan Pancasila.
Beberapa persoalan yang perlu ditinjau ulang adalah prinsip presidensial harus diperkuat kembali karena sudah mengarah kepada sistem parlementer sehingga pemerintahan menjadi mandek karena terlalu kuatnya parlemen.
Kiai Said juga menyampaikan diaturnya kembali otonomi daerah yang sekarang sudah kebablasan. Para kepala daerah dengan kekuasaan yang dimiliki, menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.Pilgub juga harus dikembalikan ke DPRD karena menimbulkan ongkos yang sangat besar.
PBNU juga mengusulkan penyederhanaan partai, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negera, menghidupkan kembali utusan golongan, tetapi tidak mengikuti pola orde baru,
Kang Said juga mengusulkan peninjauan kembali pasal 33 ayat 4 dan 5 yang membuka peluang swasta asing mengelola kekayaan negara sehingga hilangnya kedaulatan negara yang akhirnya kekayaan hanya dikuasai segelintir orang dan masyarakat sekitarnya tetap dalam keadaan miskin.
Terkait dengan sejumlah perundangan, sejumlah UU yang merugikan rakyat seperti UU Migas, UU Minerba, UU Pangan, UU Pendidikan Nasional, UU Penyiaran dan lainnya yang merugikan rakyat penting untuk ditinjau ulang atau dibatalkan.
Sementara itu, Bambang Soeroso, ketua kelompok DPD di MPR RI menyatakan selama 10 tahun setelah amandemen keempat UUD 1945 merupakan waktu yang cukup untuk mengevaluasi pelaksanaan UUD pasca Amandemen 1-4.
Beberapa pesoalan kebangsaan yang mengemuka diantaranya semangat nasionalisme dan integrasi bangsa yang mengalami tantangan luar biasa, penegakan hukum, nuansa delegitimasi dan penurunan tingkat kepercayaan atas kienrja lembaga penegak hukum, kegamangan dalam demokrasi pancasila, tata kelola pemerintahan yang baik dan kedaulatan ekonomi nasional yang makin terancam dengan deranya pengaruh liberalisasi ekonomi kapital global.
DPD saat ini telah melakukan kegiatan penyerapan aspirasi dan uji publik yang mendalam dengan melibatkan seluruh komponen bangsa yang akhirnya terdapat 10 naskah usulan perubahan yang meliputi penguatan sistem presidensial, penguatal lembaga perwakilan rakyat, penguatan otonomi daerah, calon presiden perseorangan, pemilahan pemilu nasional dan pemilu daerah, forum previlegitum, optimalisasi peran MK, penambahan pasal hak asasi manusia, penambahan bab Komisi Negera dan penajaman bab tentang pendidikan dan perekonomian
Sekjen ICIS K.H. Hasyim Muzadi, Wakil Ketua MPR Hajriyanto Tohari, Mantan Wapres Jusuf Kalla, Ketua Kelompok DPD di MPR Bambang Soeroso dan Sekjen PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo meresmikan pembukaan Pekan Konstitusi di kantor ICIS, Jakarta Pusat.
konstitusi dan kepemimpinan merupakan akar dari berbagai permasalahan bangsa yang ada saat ini.Faktor yang mendorong konflik bisa berbagai macam, bisa karena kepemimpinan, bisa juga karena ketidakjelasan konstitusi.Banyaknya masukan tentang formulasi konstitusi juga menimbulkan kekisruhan dalam perspektif ketatanegaraan, sehingga perlu ada sebuah forum untuk mencari titik temu.
Ada yang ingin mengembalikan konstitusi ke UUD 1945, ada juga yang menginginkan perubahan dan penambahan pasal-pasal.Keinginan perubahan, jika itu ada, hendaknya harus konstitusional melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat.
DPD RI mengusulkan 10 poin penting perubahan UUD 1945, di antaranya, memperkuat sistem presidensial, mengoptimalkan sistem perwakilan DPD, membuka calon presiden jalur perseorangan, memperkuat peran Mahkamah Konstitusi, penambahan pasal Hak Asasi Manusia dan penajaman bab tentang pendidikan dan ekonomi.
Djokosoetono Research Center Fakultas
Hukum Universitas Indonesia menyelenggarakan diskusi bulanan dan Kasus dengan
mengangkat tema "Amandemen Ke 5 UUD 45 Penguatan Sistem
Ketatanegaraan dan Sistem Politik di Indonesia" dengan narasumber
Abdul Gafur Staf Ahli DPD RI dan Nur Widyastanti
Staf Pengajar Fakultas Hukum. Diskusi berlangsung pada hari Senin, 30 Mei 2011
di Ruang Soemadipradja and Taher.
Dalam pemaparannya Abdul Gafur menyerukan tiga
isu perubahan yang sangat fundamental yaitu memperkuat sistem presidensial,
memperkuat lembaga perwakilan, dan memperkuat otonomi daerah. Serta mengusulkan
Penambahan Bab Komisi Negara yang merupakan Pilar bagi negara hukum (rule
of law) kelima komisi itu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi
Yudisial (KY), Komnas HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komis kebebasan
Pers; diharapkan dengan adanya kelima komisi tersebut diharapkan dapat
menciptakan peradilan yang independent dan berintegritas, bersih dari pratik
mafia peradilan, Perlindungan Hak Azasi Manusia, Kebebasan Pers, terciptanya
pemerintahan yang baik.
Sedangkan narasumber yang lain Nur
Widyastanti mengemukakan pendapat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu
bila dilihat dari segi fungsi legislasi bukalah sebuah kamar karena hingga saat
ini peran serta Dewan Perwakilan Daerah, hanya dapat membantu membahas,
mengusulkan suatu rancangan perubahan terhadap Rancangan Undang-Undang, ke
Dewan Perwakilan Rakyat semua keputusannya tergantung DPR. Sedangkan fungsi
yang lainnya yang berkaitan dengan Bidang Anggaran misalnya DPD hanya dimintai
pertimbangan, sedangkan di bidang Pengawasan berperan sertanya sebagai relasi
saja. Seyogyanya karena dipilih langsung oleh rakyat maka di tahun-tahun
mendatang peran Dewan Perwakilan Daerah tidak hanya terbatas memberikan
pertimbangan, tetapi turut serta mempunyai suara untuk menentukan lolos
tidaknya suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan serta peguatan
struktural yang berhubungan dengan personal dan lain sebagainya.
AMANDEMEN KE V UUD 1945, UNTUK DPD YANG LEBIH BAIK
Oleh :
Muhammad Gazali
Saat ini
satu diantara agenda politik Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
(DPD-RI) adalah mengusulkan amandemen ke-V UUD 1945 ke MPR-RI. Untuk sebahagian
besar masyarakat Indonesia, isu ini tidaklah populer di bandingkan dengan isu
Nazarudin atau Nunun yang lari ke Singapura akibat kasus korupsi, karena isu
tergantung sebesar apa volume pemberitaan yang muncul di media. Saat ini isu
amandemen hanya familiar di kalangan politisi senayan, pengamat politik dan
akademisi di level nasional. Isu ini belum menjadi perhatian publik daerah,
padahal amandemen ke V UUD 1945 ini sesungguhnya sangat subsansial dalam rangka
mewujudkan percepatan pembangunan daerah.
Indonesia
memiliki sejarah panjang sebagai Negara yang tersentralisasi. Strukutur
pemerintahan yang terpusat di warisi dari zaman kolonial Belanda. Jakarta
merupakan pusat kekuasaan politik, tetapi sesungguhnya daerah-daerahlah yang
menjadi pemilik sumber kekayaan dari sumber daya alam seperti pertambangan,
perkebunan, kehutanan, perikanan, parawisata dan lainnya. Upaya melakukan
desentralisasi umumnya gagal karena kurangnya komitmen Pemerintah Pusat untuk
melakukan desentralisasi. Akibatnya kue pembangunan yang tidak merata, daerah
menjadi sangat tertinggal dari sisi pembangunan infra strukutur, pendidikan,
kesehatan serta sosial dan ekonomi.
Gerakan
reformasi yang di motori oleh para mahasiswa membuat rezim orde baru berakhir,
di tandai dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden RI setelah berkuasa selama
32 tahun. Dalam proses reformasi yang di laksanakan pasca runtuhnya orde baru,
salah satu hasilnya adalah perubahan yang cukup fundamental dalam sistem
kelembagaan Negara RI yang tertuang dalam amandemen UUD 1945, dimana lahirlah
lembaga Dewan Perwakilan Daerah menggantikan utusan daerah dan golongan yang
dulu di tunjuk oleh pemerintah pusat.
DPD lahir
sebagai buah dari reformasi, dan tentunya menjadi representasi yang sangat
legitimid dari masyarakat daerah karena kehadirannya di pilih langsung oleh
masyarakat di suatu provinsi. Wajar jika ekspektasi atau harapan masyarakat
begitu besar kepada anggota DPD untuk mampu memperjuangkan aspirasi daerah yang
selama ini tidak di peroleh akibat sistem sentralisasi yang di terapkan orde
baru. Namun kenyataannya, mimpi indah masyarakat daerah untuk mendapatkan
hak-hak kesejahterannya, tidak dengan mudah di perjuangkan oleh anggota DPD
karena keterbatasan kewenangannya.
Menurut
ketentuan Pasal 22D UUD 1945, DPD mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut
membahas bersama DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya; serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPD dapat
memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja Negara; rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak; rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan; rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan agama. DPD dapat melakukan pengawasan
control atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah; hubungan pusat dan daerah; pengelolan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; pelaksanaan anggaran dan belanja
negara; pajak; pendidikan dan agama. Namun hasil pengawasan tersebut di
sampaikan lagi kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk di tindak lanjuti.
Dengan
demikian, sifat tugasnya di bidang legislasi hanya menunjang (auxiliry
agency) tugas konstitusional DPR. Dalam proses pembentukan undang-undang
atau legislasi, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan
dalam proses pengambilan keputusan sama sekali. Padahal, persyaratan dukungan
menjadi anggota DPD jauh lebih berat dari pada persyaratan dukungan untuk
menjadi anggota DPR. Artinya kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali
tidak di imbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya sebagi wakil rakyat
daerah (regional representatives).
Hal ini
memberikan gambaran bahwa sistem bikameral (dua kamar) Indonesia tidak dibangun
dalam rangka cheks and balances. Keterbatasan itu memberikan makna,
gagasan menciptakan sistem dua kamar (bikameral) yang dimaksudkan untuk
mengakomodir kepentingan daerah menjadi sesuatu yang utopis. Karena itu, dapat
di mengerti jika DPD kehilangan kekuatan untuk mengartikulasikan kepentingan
politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional,
karena sekali lagi hanya dapat mengusulkan, membahas, mempertimbangkan dan
mengawasi tanpa bisa ikut membentuk dan memutuskan.
Menurut
peneliti Australian National University, Stephen Sherlock (2005)
memberikan penilaian yang amat menarik, beliau menyebutkan, DPD merupakan
contoh yang tidak lazim dalam praktik bikameral karena merupakan kombinasi
lembaga dengan kewenangan yang amat terbatas dengan legitimasi yang tinggi.
Kombinasi ini tidak di temukan dalam praktik bikameral di tempat lain di dunia.
Soal
lemahnya DPD di bandingkan DPR juga tertuang dalam UUD 1945 pasal 22C, yang
menyebutkan bahwa anggota DPD tidak melebihi sepertiga jumlah anggota DPR. Jika
anggota DPR kini 560 orang, maka maksimal anggota DPD bisa sebanyak 186 orang.
Realitasnya dengan jumlah anggota DPD (4 orang x jumlah provinsi di Indonesia)
atau sebanyak 132 orang, kekuatan DPD masih kurang dari seperempat jumlah
anggota DPR. Maka bisa di pastikan, jika ada proses pengambilan keputusan yang
harus di lalui dengan voting, maka usulan-usulan DPD akan tergusur.
Amandemen
UUD 1945 di sidang MPR-RI merupakan cara yang konstitusional dalam upaya
memperkuat peran DPD-RI menjalankan fungsi konstitusi dan representasinya.
Amandemen UUD 1945, bukan dalam rangka menyaingi fungsi dan kewenangan DPR-RI,
tetapi di lihat dari sisi sinergisitas dan upaya memaksimalkan fungsi lembaga
perwakilan yang dipilih oleh masyarakat daerah, agar proses pengambilan
keputusan politik di tingkat nasional akan berdampak positif bagi masyarakat
daerah.
0 komentar:
Posting Komentar